Ponorogo – Pada H+5 Lebaran, penjual selongsong ketupat dan janur mulai terlihat di sekitar pasar legi dan pasar relokasi Ponorogo. Penjual selongsong ketupat dan janur ini selalu muncul menjelang syawalan atau lebaran ketupat. Syawalan sendiri merupakan tradisi masyarakat Ponorogo serta beberapa wilayah lain di Indonesia yang penuh dengan makna.
Tradisi ini dirayakan dengan berbagai nama dan ritual unik di setiap daerah. Beberapa di antaranya adalah Grebeg Syawal, Bakdo Kupat, Lebaran Topat, Ter-ater, dan masih banyak lagi. Meskipun memiliki variasi dalam penyebutan dan pelaksanaannya, tradisi Syawalan memiliki tujuan yang sama, yaitu:
- Sebagai ungkapan rasa syukur setelah berhasil menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan.
- Mempererat silaturahmi antar anggota keluarga serta sesama umat Muslim.

Di Ponorogo dan beberapa daerah lain di Pulau Jawa, Syawalan dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri, tepatnya pada 8 Syawal. Pada hari tersebut, warga berkumpul di mushola atau masjid dengan membawa ketupat, sayur, dan lauk pauk. Setelah doa bersama sebagai ungkapan syukur atas ibadah puasa Ramadan dan enam hari puasa Syawal, mereka kemudian makan ketupat secara bersama-sama.
Selain dikonsumsi sendiri, ketupat juga dibagikan kepada tetangga kanan-kiri sebagai simbol kebersamaan dan untuk mempererat hubungan sosial antar warga.
Tradisi Syawalan diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, pada masa Kesultanan Demak. Konon, Sunan Kalijaga memperkenalkan tradisi ini sebagai bagian dari dakwah Islam di tanah Jawa.
Ketupat, atau Kupat dalam bahasa Jawa, memiliki makna filosofis yang mendalam. Kata “Kupat” berasal dari dua frasa, yaitu:
- Ngaku Lepat – berarti mengakui kesalahan, melambangkan sikap saling memaafkan.
- Laku Papat – berarti empat tindakan, yang terdiri dari:
- Lebaran: Berakhirnya ibadah puasa Ramadan.
- Luberan: Melambangkan sedekah dan berbagi rezeki.
- Leburan: Menghapus dosa serta kesalahan.
- Laburan: Mensucikan diri, seperti kapur putih yang melambangkan kesucian.
- Lebaran: Berakhirnya ibadah puasa Ramadan.
Syawalan bukan sekadar perayaan, tetapi juga menjadi bagian dari budaya dan identitas masyarakat Jawa. Tradisi ini mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, saling memaafkan, serta kepedulian terhadap sesama. Dengan mempertahankan dan merayakan Syawalan, masyarakat tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkuat ukhuwah Islamiyah dan nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari.