PKL di Ponorogo, antara benci dan rindu

Ponorogo – Penertiban Pedagang Kaki Lima ( PKL) di sepanjang Jalan Suromenggolo oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo sudah dimulai hari Rabu (12/02/25). Sebelumnya pemberitahuan telah diberikan kepada para PKL sejak beberapa hari sebelumnya untuk memindahkan gerobak dan mengemasi tenda setelah berjualan. Namun saat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan patroli penertiban pada Kamis (13/02/25) masih ditemui tenda-tenda yang belum dibongkar dan gerobak yang tidak dipindah meski tidak dipakai berjualan. Alhasil Satpol PP melakukan tindakan dengan membongkar tenda-tenda dan mengangkut gerobak-gerobak itu.

Ikhwal penertiban PKL ini menjadi perbincangan hangat di warung kopi. Pendapat, komentar, argumen dan gagasan saling tumpang tindih dalam obrolan antara pengunjung warung. Namun pada dasarnya semua sepakat jika penertiban memang perlu dilakukan tetapi jangan sampai penertiban itu mematikan PKL.

Selama ini memang gerobak PKL dan tenda-tenda jualan mereka membuat kesan “semrawut” dan “kumuh” di jalan Suromenggolo. Jadi penertiban itu memang diperlukan, kata seorang kawan.

Yang lebih perlu lagi sebenarnya penataan, bukan hanya penertiban seperti ini. Kata kawan lainnya. Menurutnya, PKL perlu ditata space jualannya agar teratur, rapi dan tidak mengganggu pengguna jalan. Sebab kerap ditemui gerobak PKL yang terlalu besar atau terlalu maju sehingga banyak memakan badan jalan. Yang lebih parah, pembelinya sudah pakai mobil berhentinya di depan gerobak PKL. 

Baca Juga  Derita Pengendara Honda BeAT di Ponorogo

Kalau tentang yang satu ini, harusnya pedagangnya juga mengingatkan pembeli untuk parkir menepi sehingga tidak mengganggu lalu lintas, timpal pengunjung lain. Pembeli yang bawa mobil juga harus punya kesadaran. Jangan sampai parkir mobilnya mengganggu pengguna jalan lainnya. Tetapi ya bagaimana lagi, wong sepanjang jalan dipenuhi PKL, sementara pembuli yang bawa mobil enggan jika harus jalan kaki karena parkirnya agak jauh.

Pedagangnya aja yang disuruh naik ke trotoar, toh trotoar di jalan baru tidak fungsional. Sekarang ini mana ada orang yang mau jalan kaki, celetuk pengunjung lainnya.

Menyoal PKL ini sebenarnya adalah hal yang susah-susah mudah. Hubungan antara  Pedagang Kaki Lima dan masyarakat lainnya boleh dikata mirip-mirip “Tom and Jerry”, benci tapi rindu. Keberadaan mereka kadang dipandang mengganggu ketertiban dan kenyamanan pengguna jalan, tetapi jika mereka tidak ada seringkali dicari-cari. Sebenarnya dalam teori pasar PKL ini mendekatkan dan mempermudah akses masyarakat terhadap kebutuhan makanan dan jajanan. Selain lokasinya yang mudah dijangkau, harga makanan dan jajanan yang dijual PKL tentu lebih murah dibandingkan dengan di Rumah makan, cafe maupun toko.

Obrolan terus berlanjut, dan seperti obrolan di warung lainnya, jangan harapkan ada kesimpulan akhir yang jelas. Sebab masing-masing orang punya persepsi dan membuat kesimpulan sendiri. Bisa dibilang jika obrolan warung kopi itu semacam brainstorming yang akan menambah khazanah pemikiran bagi masing-masing pengunjung.