reog ponorogo

Mengapa Wong Ponorogo beda dengan masyarakat Mataraman lainnya, Ini Penjelasannya

Bagikan :

Berbeda dengan masyarakat Mataraman yang membawa keris dengan menyelipkan di belakang badan, orang Ponorogo menyelipkan keris di bagian depan. Ini mencerminkan sikap keterusterangan, kewaspadaan, dan kesiapan menghadapi berbagai kondisi.

Orang Ponorogo cenderung menggunakan bahasa Jawa dengan gaya “Ngoko” (Jawa kasar) dan dialek yang lebih tegas dibandingkan dengan masyarakat Mataraman pada umumnya. Bahasa ini terdengar lebih lugas dan langsung, mencerminkan sifat terbuka masyarakat Ponorogo. Dibandingkan dengan subkultur Mataraman yang lebih halus, bahasa Ponorogan memang terkesan lebih kasar, meskipun masih lebih halus dibandingkan dialek-dialek khas subkultur Arek, Madura, Pandalungan, atau Osing.

Salah satu kesenian khas Ponorogo yang paling menonjol adalah Reog Ponorogo, peninggalan dari Ki Ageng Kutu. Reog memiliki gerak tari dan iringan musik yang dinamis dan penuh semangat, sangat berbeda dengan kesenian Mataraman yang cenderung halus dan terstruktur seperti kesenian keraton. Keunikan lain dalam kesenian Reog adalah musik pengiring yang harus menyesuaikan dengan gerakan Pembarong (penari Reog), bukan sebaliknya. Ini mencerminkan kebebasan berekspresi yang menjadi ciri khas budaya Ponorogan.

Dalam hal kuliner, Ponorogo juga memiliki cita rasa yang khas. Masyarakat Ponorogo lebih menyukai makanan dengan rasa pedas dan gurih (asin), berbeda dengan masyarakat Mataraman yang cenderung menyukai cita rasa manis. Contohnya adalah sambal pecel khas Ponorogo yang lebih pedas dibandingkan sambal pecel dari daerah lain di Jawa Timur.

Baca Juga  Rengginang banyak diburu menjelang lebaran, pembeli harus pesan dahulu

Laman: 1 2 3