Mengapa Wong Ponorogo beda dengan masyarakat Mataraman lainnya, Ini Penjelasannya

Ponorogo – Sadar nggak sih kalau orang-orang Ponorogo itu berbeda dengan masyarakat di wilayah subkultur Mataraman lainnya, seperti Madiun, Pacitan, Magetan, Ngawi, Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, dan Blitar. Mulai dari karakter, dialek bahasa, budaya, adat dan kesenian di Ponorogo mempunyai perbedaan yang signifikan dengan daerah lain di wilayah Mataraman.

Perbedaan-perbedaan ini menjadikan Ponorogo memiliki subkultur yang khas, yang dikenal sebagai subkultur Ponoragan. Subkultur ini terbentuk karena pengaruh geografis, sejarah, budaya, dan kesenian yang telah berkembang sejak zaman Kerajaan Wengker hingga era modern saat ini.

Peraga Warok dalam kesenian reog
Peraga Warok dalam kesenian reog (credit: wikipedia)

Letak geografis Ponorogo yang dikelilingi pegunungan membuat wilayah ini sulit dijangkau dan dipengaruhi secara langsung oleh kerajaan besar pada masa lalu. Setelah keruntuhan awal Kerajaan Wengker, Ponorogo pernah menjadi vasal dari Kerajaan Kahuripan, Singasari, dan Majapahit. Namun, karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, pengaruh budaya kerajaan-kerajaan tersebut tidak terlalu besar terhadap perkembangan budaya masyarakat Ponorogo.

Meskipun Ponorogo kemudian menjadi kadipaten di bawah Kesultanan Demak, Mataram Islam, dan Kasunanan Surakarta, budaya dan tradisi peninggalan Kerajaan Wengker masih mengakar kuat hingga sekarang. Inilah yang menyebabkan masyarakat Ponorogo memiliki karakter dan budaya yang berbeda dari masyarakat di wilayah subkultur Mataraman lainnya.

Pakaian adat Ponorogo, khususnya Penadon Warok, memiliki desain yang sederhana, longgar, dan praktis, dengan tutup kepala berupa udeng (kain iket) yang memudahkan pemakainya bergerak bebas. Warna serba hitam dari pakaian Penadon melambangkan kesederhanaan, kekuatan tekad, dan sikap egaliter masyarakat Ponorogo. Pada masa lalu, pakaian ini dipakai tanpa kaos dalaman, tetapi seiring perkembangan zaman, kaos dalaman bercorak loreng mulai ditambahkan, sehingga tampilan Penadon tampak serupa dengan baju Sakera dalam setelan Pesa’an khas Madura.

Baca Juga  Mengenal Wengker, kerajaan pertama di Ponorogo

Berbeda dengan masyarakat Mataraman yang membawa keris dengan menyelipkan di belakang badan, orang Ponorogo menyelipkan keris di bagian depan. Ini mencerminkan sikap keterusterangan, kewaspadaan, dan kesiapan menghadapi berbagai kondisi.

Orang Ponorogo cenderung menggunakan bahasa Jawa dengan gaya “Ngoko” (Jawa kasar) dan dialek yang lebih tegas dibandingkan dengan masyarakat Mataraman pada umumnya. Bahasa ini terdengar lebih lugas dan langsung, mencerminkan sifat terbuka masyarakat Ponorogo. Dibandingkan dengan subkultur Mataraman yang lebih halus, bahasa Ponorogan memang terkesan lebih kasar, meskipun masih lebih halus dibandingkan dialek-dialek khas subkultur Arek, Madura, Pandalungan, atau Osing.

Salah satu kesenian khas Ponorogo yang paling menonjol adalah Reog Ponorogo, peninggalan dari Ki Ageng Kutu. Reog memiliki gerak tari dan iringan musik yang dinamis dan penuh semangat, sangat berbeda dengan kesenian Mataraman yang cenderung halus dan terstruktur seperti kesenian keraton. Keunikan lain dalam kesenian Reog adalah musik pengiring yang harus menyesuaikan dengan gerakan Pembarong (penari Reog), bukan sebaliknya. Ini mencerminkan kebebasan berekspresi yang menjadi ciri khas budaya Ponorogan.

Dalam hal kuliner, Ponorogo juga memiliki cita rasa yang khas. Masyarakat Ponorogo lebih menyukai makanan dengan rasa pedas dan gurih (asin), berbeda dengan masyarakat Mataraman yang cenderung menyukai cita rasa manis. Contohnya adalah sambal pecel khas Ponorogo yang lebih pedas dibandingkan sambal pecel dari daerah lain di Jawa Timur.

Baca Juga  3 Smartphone sejutaan Samsung untuk penggunaan Harian, Kamu pilih yang mana

Dari berbagai perbedaan yang telah disebutkan, jelas bahwa Ponorogo memiliki subkultur Ponoragan yang lahir dari kondisi geografis yang unik serta sejarah yang panjang sejak era Kerajaan Wengker, jauh sebelum berdirinya Majapahit. Identitas budaya yang kuat ini tetap hidup dan berkembang hingga saat ini, menjadikan Ponorogo sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan budaya yang sangat berharga di Indonesia.