Ponorogo – Sadar nggak sih kalau orang-orang Ponorogo itu berbeda dengan masyarakat di wilayah subkultur Mataraman lainnya, seperti Madiun, Pacitan, Magetan, Ngawi, Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kediri, dan Blitar. Mulai dari karakter, dialek bahasa, budaya, adat dan kesenian di Ponorogo mempunyai perbedaan yang signifikan dengan daerah lain di wilayah Mataraman.
Perbedaan-perbedaan ini menjadikan Ponorogo memiliki subkultur yang khas, yang dikenal sebagai subkultur Ponoragan. Subkultur ini terbentuk karena pengaruh geografis, sejarah, budaya, dan kesenian yang telah berkembang sejak zaman Kerajaan Wengker hingga era modern saat ini.

Letak geografis Ponorogo yang dikelilingi pegunungan membuat wilayah ini sulit dijangkau dan dipengaruhi secara langsung oleh kerajaan besar pada masa lalu. Setelah keruntuhan awal Kerajaan Wengker, Ponorogo pernah menjadi vasal dari Kerajaan Kahuripan, Singasari, dan Majapahit. Namun, karena jaraknya yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, pengaruh budaya kerajaan-kerajaan tersebut tidak terlalu besar terhadap perkembangan budaya masyarakat Ponorogo.
Meskipun Ponorogo kemudian menjadi kadipaten di bawah Kesultanan Demak, Mataram Islam, dan Kasunanan Surakarta, budaya dan tradisi peninggalan Kerajaan Wengker masih mengakar kuat hingga sekarang. Inilah yang menyebabkan masyarakat Ponorogo memiliki karakter dan budaya yang berbeda dari masyarakat di wilayah subkultur Mataraman lainnya.
Pakaian adat Ponorogo, khususnya Penadon Warok, memiliki desain yang sederhana, longgar, dan praktis, dengan tutup kepala berupa udeng (kain iket) yang memudahkan pemakainya bergerak bebas. Warna serba hitam dari pakaian Penadon melambangkan kesederhanaan, kekuatan tekad, dan sikap egaliter masyarakat Ponorogo. Pada masa lalu, pakaian ini dipakai tanpa kaos dalaman, tetapi seiring perkembangan zaman, kaos dalaman bercorak loreng mulai ditambahkan, sehingga tampilan Penadon tampak serupa dengan baju Sakera dalam setelan Pesa’an khas Madura.