Ponorogo – Salah satu makanan tradisional yang identik dengan Lebaran di Ponorogo dan sekitarnya adalah Madumongso. Makanan berbahan dasar ketan hitam ini sekilas mirip dengan dodol. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, Madumongso memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Teksturnya lebih kasar, dengan rasa yang sangat manis, gurih, serta sedikit asam. Keunikan rasa dan tekstur ini berasal dari proses pembuatannya yang khas.
Konon, makanan khas Ponorogo ini pertama kali dibuat sebagai bentuk kerinduan para jemaah haji terhadap buah kurma. Karena sulit mendapatkan kurma di tanah air, mereka menciptakan makanan dengan cita rasa yang mirip. Versi lain menyebutkan bahwa Madumongso telah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur. Pada masa itu, makanan ini menjadi hidangan istimewa bagi kaum bangsawan karena ketan hitam tergolong bahan yang mahal.

Nama Madumongso sendiri menggambarkan rasa manisnya yang khas. Kata “Madu” merujuk pada cairan manis yang dihasilkan lebah, sedangkan “Mongso” berarti waktu atau musim. Secara harfiah, Madumongso dapat diartikan sebagai “masa yang manis seperti madu,” yang sejalan dengan kebiasaan menyajikannya sebagai simbol kebahagiaan saat Lebaran.
Karena bahan bakunya yang mahal dan proses pembuatannya yang memakan waktu serta ketelatenan, harga Madumongso pun cukup tinggi. Menjelang Lebaran, Madumongso berkualitas baik bisa mencapai harga lebih dari seratus ribu rupiah per kilogram. Meski mahal, kualitas dan kelezatannya sebanding dengan harga yang dibayarkan.