Ponorogo – Lebaran sebentar lagi tiba! Semua umat Islam akan merayakannya dengan penuh kebahagiaan. Baju dan sepatu baru, mudik ke kampung halaman, berkumpul bersama keluarga, hingga bersilaturahmi dengan sanak saudara, sahabat, dan tetangga. Bercanda dan tertawa, mengenang momen-momen manis masa kecil yang mempererat kebersamaan.

Namun, perayaan Lebaran terasa kurang lengkap tanpa kehadiran ketupat dan opor ayam di meja makan. Sampai sekarang, Opor ayam seolah menjadi menu wajib yang selalu ada saat momen lebaran bersama keluarga. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan ketupat dan opor ayam menjadi identik dengan Lebaran, tetapi tradisi ini sudah berlangsung selama berabad-abad.
Filosofi Ketupat dalam Tradisi Jawa
Dalam budaya Jawa, ketupat—atau disebut “kupat” dalam bahasa Jawa—memiliki makna filosofis yang sangat kuat dan mendalam. Kupat yang berasal dari frasa “Ngaku Lepat”, berarti mengakui kesalahan. Hidangan ini menjadi simbol permintaan maaf dengan ketulusan hati dalam menyambut Idul Fitri setelah sebulan penuh berpuasa.
Konon, pada abad ke-15, Sunan Kalijaga—salah satu anggota Wali Songo—memperkenalkan ketupat dengan opor ayam sebagai bagian dari tradisi Lebaran di Kesultanan Demak. Sejak saat itu, ketupat dan opor ayam menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri di Nusantara.
Opor Ayam: Perpaduan Budaya dalam Kuliner Nusantara
Opor ayam, yang kini identik dengan Lebaran, memiliki sejarah panjang dalam dunia kuliner. Beberapa sumber menyebut hidangan ini sudah ada sejak abad ke-10 dan awalnya hanya disajikan untuk para bangsawan. Namun, ada pula yang menyatakan bahwa opor ayam baru mulai populer pada abad ke-15 hingga ke-16 Masehi.