Ponorogo – Setelah Majapahit memasuki masa kemunduran dan pengaruh Kesultanan Demak mulai meluas, Kerajaan Wengker tampaknya menghilang dari catatan sejarah tertulis. Keberadaan Wengker sebelum kedatangan Raden Katong dan berdirinya Ponorogo hanya dikenal melalui kisah lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Versi paling populer tentang berdirinya Ponorogo adalah kisah kedatangan Raden Katong ke wilayah Wengker untuk menghadapi Demang Suryongalam, yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Kutu. Ki Ageng Kutu diyakini merupakan seorang pejabat atau bangsawan Majapahit yang kecewa dengan situasi politik dan sosial di kerajaan. Ia merasa bahwa Majapahit telah kehilangan kejayaannya akibat lemahnya kepemimpinan dan rusaknya moral para pejabat kerajaan.
Ki Ageng Kutu kemudian membangun basis kekuatan di daerah Kutu, Kecamatan Jetis, yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Ponorogo. Ia berhasil mengumpulkan pengikut dari kalangan petani dan prajurit lokal yang tidak puas dengan kondisi Majapahit. Salah satu bentuk perlawanan simbolisnya adalah dengan menciptakan Seni Reog, yang sarat sindiran terhadap Raja Majapahit saat itu, Prabu Brawijaya V. Kepala Singa Barong dalam Reog dianggap sebagai sindiran terhadap raja yang dinilai lebih takut kepada selirnya.
Melihat potensi ancaman dari Ki Ageng Kutu dan pengikutnya, Majapahit kemudian mengutus Raden Katong untuk memadamkan pemberontakan tersebut. Raden Katong adalah putra Prabu Brawijaya V dan adik tiri dari Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan memiliki kemampuan diplomasi yang tinggi.
Berdasarkan Babad Ponorogo, kedatangan Raden Katong ke Wengker diperkirakan terjadi antara tahun 1475 hingga 1482 M, mendekati masa keruntuhan Majapahit yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 1478 M (sesuai candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi”). Ini menandakan bahwa kedatangan Raden Katong terjadi pada awal atau tidak lama setelah kejatuhan Majapahit.
Ditemani oleh Ki Ageng Mirah, sahabat sekaligus penasihatnya, Raden Katong bermukim di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan untuk menyusun rencana menghadapi Ki Ageng Kutu. Pada awalnya, Raden Katong dan pasukannya tidak mampu mengalahkan pasukan Ki Ageng Kutu melalui peperangan langsung. Oleh karena itu, ia menggunakan strategi diplomasi dan persuasi untuk mengurangi pengaruh Ki Ageng Kutu. Salah satu langkahnya adalah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat di wilayah Wengker, yang akhirnya berhasil menarik banyak pengikut baru.
Selain itu, Raden Katong juga menikahi Niken Gandini, putri Ki Ageng Kutu, untuk mempererat hubungan dengan keluarga Ki Ageng Kutu. Langkah ini semakin melemahkan posisi Ki Ageng Kutu, hingga akhirnya kekuasaannya berakhir.
Terdapat beberapa versi tentang akhir kehidupan Ki Ageng Kutu. Ada yang menyebutkan bahwa ia akhirnya berdamai dan menyerah kepada Raden Katong, sementara versi lain menyebutkan bahwa ia melarikan diri dan meninggal dalam pelarian. Beberapa cerita bahkan menyebutkan bahwa ia gugur dalam pertempuran.
Setelah mengalahkan Ki Ageng Kutu, Raden Katong mendirikan pusat pemerintahan baru dan diangkat sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Menurut Handbook of Oriental History, Raden Katong dilantik sebagai Adipati Ponorogo pada hari Ahad Pon, tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, yang bertepatan dengan 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo, yang diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat setempat.
Untuk membaca sejarah Ponorogo sebelum kedatangan Raden Katong, baca : Sejarah Wengker sampai era Majapahit