Kampak Patik ini dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat, sayangnya tidak ada catatan yang jelas siapa saja nama-nama tokoh yang terlibat. Nama-nama tokoh yang berperan hanya didapatkan dari sejarah lisan yang berkembang dan diceritakan secara turun temurun di masyarakat Ponorogo. Salah satunya adalah Ki Singowongso, seorang pemimpin lokal yang berhasil mengorganisir para petani dan masyarakat kecil untuk bersatu melawan kebijakan kolonial yang menindas.
Tokoh lainnya adalah Nyai Sarpin, perempuan pemberani yang turut serta dalam perlawanan. Ia tidak hanya memotivasi para perempuan untuk ikut mendukung perjuangan, tetapi juga berperan aktif dalam pertempuran.
Segera setelah peristiwa Kampak Patik tersebut, terjadi konfrontasi terbuka antara rakyat dan aparat kolonial Belanda. Rakyat yang bersenjatakan beragam perkakas pertanian seperti kapak, golok, sabit melawan pasukan kolonial yang lebih terlatih dan memiliki senjata api. Walaupun perlawanan rakyat cukup sengit namun setelah beberapa hari pertempuran, perlawanan berhasil dipadamkan oleh Belanda dengan korban jiwa yang cukup besar di pihak rakyat Ponorogo.
Walaupun pemberontakan Kampak Patik berhasil dipadamkan, perlawanan ini membuat pemerintah Belanda ketakutan dan khawatir akan muncul pemberontakan yang lebih besar. Sebagai hasilnya, pemerintah kolonial menurunkan pajak dan menaikkan harga komoditas kopi untuk meredam kemarahan rakyat. Kebijakan ini menjadi salah satu kemenangan moral bagi rakyat Ponorogo.