kesenian-gong-gumbeng

Cerita unik Gong Gumbeng, seni musik ratusan tahun yang lestari sampai saat ini

Bagikan :

Selain Reog, Kabupaten Ponorogo memiliki salah satu kesenian langka yang masih lestari hingga sekarang, yaitu Gong Gumbeng. Disebut langka karena kesenian ini hanya terdapat di Desa Wringinanom, Kecamatan Sambit. Seperangkat alat musik yang terbuat dari bambu, dimainkan bersama kendang dan siter menghasilkan nada-nada pentatonis yang terdengar unik ditelinga mengiringi tembang-tembang jawa.

Konon, kesenian Gong Gumbeng sudah ada sejak tahun 1837 M, dibawa dan diperkenalkan oleh Irogiri, seorang prajurit eksponen Perang Diponegoro yang eksodus dan menetap di Wringinanom setelah kekalahan Pangeran Diponegoro melawan Belanda.

Meski namanya Gong Gumbeng, jangan membayangkan Gong yang seperti biasa kita lihat.  Pada kesenian Gong Gumbeng, gong yang digunakan adalah Gong Bonjor, sebuah alat musik tiup dari bambu yang menghasilkan nada rendah mirip dengan suara gong pada umumnya bila ditiup. Perangkat instrumen Gong Gumbeng terdiri dari 15 gumbeng (mirip angklung yang digantung), satu gong bonjor, satu kendang, dan satu siter.

Nama “Gumbeng” sendiri berasal dari plesetan bahasa Jawa “bumbung” dan  “mubeng”, yang berarti alat musik bumbung untuk mubeng (mbarang/ngamen). Nama ini erat kaitannya dengan kisah perseteruan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam, dan Ki Ageng Mangir, seorang penguasa wilayah Mangir yang menolak tunduk pada Mataram. 

Di kutip dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, Untuk mengalahkan Ki Ageng Mangir Ki Juru Mertani, penasihat Panembahan Senopati menyarankan Retno Pembayun menyamar menjadi “Tledek” atau sinden dan mbarang (ngamen) bersama rombongannya ke wilayah Mangir. Setibanya di wilayah Mangir, dengan kecantikan dan kepiawaiannya dalam seni, Retno Pembayun berhasil memikat Ki Ageng Mangir hingga mereka akhirnya menikah. 

Baca Juga  Alun-Alun Ponorogo: Ikon Sejarah dan pusat keramaian Bumi Reog

Laman: 1 2